Ups!

Kupandangi wajah-wajah itu,
Mata merah, muka lelah, kuyu.
Baju putih itu telah lusuh,
Bercampur keringat dan debu.

Pertanyaan-pertanyaan menyerbu benakku,
Bagaimana perjuangan Tuan hari ini?
Apa hasil perjuangan Tuan hari ini?
Apa rencana Tuan selanjutnya?
Apakah Tuan sudah makan sejak tadi pagi?
Tahukah Tuan, setelah Tuan pulang, ada sekelompok orang berbaju oranye berdatangan?
Bukan, mereka bukan mau berjuang seperti Tuan. Mereka mau bersihkan sisa-sisa perjuangan Tuan. Bagaimana menurut Tuan?
Bagaimana perasaan Tuan seandainya Tuan tahu, ternyata ada kepentingan lain yang tersembunyi dari perjuangan Tuan, yang sebenarnya Tuan niatkan untuk membela keyakinan Tuan?
Apa yang akan Tuan lakukan, ketika ternyata Tuan mendapati orang yang mengajak Tuan berjuang, ternyata menerima sejumlah imbalan?
Bagaimana jadinya, ketika Tuan menyadari bahwa ternyata perjuangan ini berangkat dari kebencian, bukan untuk membela keyakinan Tuan?
Apa yang akan Tuan lakukan, ketika orang yang Tuan sebut sebagai penista, kemudian dijatuhi hukuman? Apakah Tuan merasa menang? Kenapa Tuan merasa menang? Tuan merasa menang atas apa?
Apa yang sebenarnya sedang ingin Tuan tunjukkan?

Kupandangi wajah-wajah itu,
Mata merah, muka lelah, kuyu.
Baju putih itu telah lusuh,
Bercampur keringat dan debu.

Aku ada di belakangmu, Tuan.
Mendengarmu bercengkerama dengan temanmu,
Yang terlihat ikut bahagia menyaksikan aksimu,
Berfoto bersama di depan barisan polisi wanita yang siap siaga bertugas.

Ups!

Bun, Bunda dimana?

18.12
Sebuah pesan suara via Whatsapp, masuk. Kulihat, oh..Pa'e yang mengirimkan pesan suaranya.

"Bun, Bunda dimana? Bunda lagi ngapain? Kok ditelpon ga diangkat-angkat?", terdengar nada cemas dari seorang anak.

Ouch..dia meneleponku tadi. Dua kali. 18.10.

Segera, kubalas pesan suara itu, "Aku sedang di kantor, Vier. Maaf ya, aku tidak mendengar teleponmu tadi, karena aku sedang di toilet. Ada apa?", tanyaku.

Lama. Aku menunggu balasan pesan suaraku.

Lama. Kupandangi layar. Berharap balasan, menanti pertanda.

Lama. Kuputuskan beranjak dari kursiku. Aku harus pulang sekarang!

Vier Bertanya : Ikan Asin Hidupnya Dimana?

Akhir - akhir ini Vier suka makan ikan asin. Kesukaannya pada ikan asin, tak lepas dari peran Nenek - mamaku - yang memperkenalkannya pada ikan asin. Vier suka ikan asin peda, yang sudah dibuang tulang dan kepalanya, digoreng dengan tepung. Jadi tinggal makan dagingnya saja.

Nenek punya cara khusus untuk membuat ikan asin peda goreng tepung kesukaan Vier. Nenek membungkus ikan asin itu dengan kertas koran, kemudian merendamnya sekitar 30 menit, untuk mengurangi rasa asin pada ikan asin. Setelahnya, baru tulang dan kepala ikan dibuang, dan dagingnya diguling-gulingkan ke campuran tepung beras dan terigu, dan langsung digoreng.

Pada suatu waktu, sambil menikmati ikan asin goreng tepungnya, Vier bertanya, "Bunda, ikan asin itu hidupnya dimana?". Alamaaaaaakk..pertanyaan ini sulllliiiiiittt dijawab. Apalagi oleh Bunda yang pengetahuannya lemah iniii. Hiks..hiks..

Aku berpikir keras, mencoba menemukan jawabnya. Kali ini aku tidak bisa mengandalkan Mbah Google untuk menjawab pertanyaan Vier. Sambil mencoba tetap terlihat tenang seperti saran yang kubaca di majalah tentang orang tua, aku balik tanya ke Vier, "Maksud Vier gimana? Ikan asin yang lagi Vier maem itu, hidupnya dimana?".

"Iyyaaa..ikan asin yang aku maem ini kan sudah mati. Naaa..pas dia masih hidup, dia hidupnya dimana?", sepertinya dia sudah mulai tak sabar.

"Owh..itttuuu..kalau ikan asin yang Vier maem itu kan ikan asin peda, dia pas masih hidup, tinggalnya di laut.", jawabku. Kurasa itu jawaban yang benar...ya..aku yakin itu jawaban yang benar (tapi jadi malah makin ragu kalau jawabanku benar).

"Pantes dia asin ya, Bunda..tinggalnya di laut siy", mukanya sangat yakin!!
Ia lanjutkan mengunyah ikan asin goreng tepungnya.
Lha!! Kok gitu ternyata urutan berpikirnya. Duh, Gusti, kula nyuwun ide!