Catatan untuk Laki-lakiku

Sayang,

Jangan berjalan di depanku,

karena mungkin aku tak mampu mengikutimu
Jangan berjalan di belakangku,
karena mungkin aku bukanlah panutanmu
Berjalanlah bersamaku,
merenda hidup kita dengan rasamu dan rasaku,
dengan katamu dan kataku,
dan dengan lakuku dan lakumu..

Membangun kita.

Sepenggal Catatan Menjelang Pernikahan

Sudah lama sebenarnya aku ingin membagi kisah ini padamu, untuk menjawab serbuan pertanyaanmu tentang pernikahan, yang mungkin aku sendiri juga tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Baiklah, mungkin memang sekaranglah waktu yang tepat untuk menceritakannya.

Semuanya dimulai ketika aku mulai memasuki usia 20 tahunan. Sebenarnya, bukan berarti aku tidak tertarik pada orang lain sebelum aku berusia 20-an. Aku pernah tertarik dengan teman laki-lakiku ketika SD, bahkan sampai sekarang pun jantungku masih berdegup kencang ketika aku mengingatnya. Dan perasaan itu membuatku jadi mengerti bahwa tidak ada yang namanya "cinta monyet". Cinta ya cinta..sudah..tidak perlu ditambahi dengan kata monyet, sejati, palsu, atau apalah. 

Aku juga pernah tertarik dengan kakak kelasku ketika aku SMP dan SMA, atau dengan teman sekelas waktu SMP dan SMA. Dan rasanya sama, ketika aku mengingatnya, atau aku bertemu dengannya di facebook atau twitter, hatiku tetap berdegup tak keruan. Ketika kuliahpun, aku pernah tertarik dengan teman sekampus atau dengan senior. Bahkan ketika aku sudah mulai bekerja, aku juga pernah tertarik dengan rekan kerjaku. Mungkin itu yang namanya jatuh cinta, dan aku baru tahu, ternyata jatuh cinta bisa berkali-kali. Tidak semua ketertarikanku berbalas. Kadang, aku hanya mengaguminya diam-diam, memandangnya dari kejauhan pun rasanya sudah cukup. Tanpa aku sadari pun, ada juga yang  memandangiku dari kejauhan, dan tersipu ketika tak sengaja aku memergokinya.

Semuanya dimulai ketika aku mulai memasuki usia 20-an. Ketika aku mulai menyadari bahwa dunia tak selebar daun kelor, bahwa ada beragam manusia di dunia, dan semuanya seharusnya baik-baik saja, hidup dalam harmoni.  Aku memang tidak seperti Paris Hilton dengan setumpuk kekayaan dan dandanan feminin serta punya banyak penggemar. Aku hanya begini, perempuan yang bisa dibilang hampir tidak pernah memanjangkan rambutnya karena malas menyisir, dengan celana jins yang dicuci 2 minggu sekali, kaos oblong warna hitam dan sendal jepit warna hijau. Aku juga jauh dari seksi. Berat badanku selalu di atas berat badan ideal. Dan satu lagi, aku jarang mandi. Pendek kata, aku sama sekali tidak memenuhi kriteria sebagai perempuan cantik, menurut pendapat masyarakat kebanyakan. Tapi, biarpun begitu, ternyata banyak yang suka padaku. Tidak hanya laki-laki yang tertarik padaku dan ingin pacaran denganku, ada juga perempuan yang tertarik padaku dan ingin menjadi pacarku. 

Dari situlah semuanya berawal, ketika aku mulai memasuki usia 20-an, dan aku mulai mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan bergantian muncul, melayang-layang di kepalaku, tentang tujuan hidupku, tentang arah hidupku, tentang masa depan, dan tentunya juga tentang pernikahan dan membangun keluarga. Semua proses yang aku alami ternyata memberikan banyak pelajaran padaku. 

Perempuan-perempuan yang tertarik padaku dan ingin menjadi pacarku mengajarkan bahwa mereka ada, normal, biasa, bukan sakit dan bukan kafir. Mereka hanya mempunyai orientasi seksual yang berbeda denganku, aku tertarik dengan laki-laki dan mereka tertarik dengan perempuan, itu saja. Lepas dari itu, semuanya sama. Mereka juga punya keinginan untuk menikah dan membangun keluarga, walaupun undang-undang negara kita tidak mengatur tentang pernikahan mereka. Tapi cinta mereka, melebihi dan tidak bisa diatur oleh undang-undang manapun. Sekali lagi aku belajar tentang cinta..cinta ya cinta..sudah.
Laki-laki yang tertarik padaku, baik diam-diam maupun secara terang-terangan menyatakan cinta padaku, mengajarkan aku tentang penghargaan. Bahwa cinta tidak bisa dipaksa untuk tumbuh. Cinta datang tanpa diundang, karena memang sebenarnya cinta sudah ada dalam diri kita masing-masing, sejak kita lahir dan sampai kapanpun. Sekali lagi aku belajar tentang cinta..cinta ya cinta..sudah.

Waktu terus berjalan, dan aku masih menikmati kehidupanku yang seperti ini. Kuliah, 'nongkrong' dengan teman-temanku, mencari pekerjaan sampingan agar tetap bisa memenuhi keinginanku beli buku dan jalan-jalan murah, memfasilitasi kegiatan-kegiatan anak-anak di Penjara Anak Tangerang, bikin-bikin kegiatan sana-sini. Begitulah. Kadang terlintas rasa kangen untuk pulang ke Kediri dan berkegiatan di sana. Kadang juga terlintas pikiran-pikiran untuk punya pacar dan menikah. Membayang-bayangkan seandainya aku punya pacar. Membayang-bayangkan apa saja yang akan aku lakukan dengan pacarku. Membayang-bayangkan rupa pacarku dan menebak-nebak apakah aku akan menikah atau tidak. 

Ya, waktu itu aku memang belum memutuskan untuk menikah atau tidak menikah. Bagiku, waktu itu, kedua pilihan ini sama kuatnya. Banyak alasan kuat yang melatarbelakangi kenapa aku tidak menikah. Tokh, selama ini aku juga bisa menghadapi dan menyelesaikan semua masalahku sendiri. Tokh, aku punya banyak teman yang selalu ada untukku setiap saat. Tokh, aku punya keluarga yang selalu menyayangiku dan merindukanku. Mungkin justru dengan menikah, malah membuatku merasa terbebani. Begitulah pikirku waktu itu, dan aku belum memutuskan apakah aku akan menikah atau tidak. Aku bahkan memutuskan untuk tidak pacaran.

Sampai pada suatu malam, aku tiba di kosan setelah beraktivitas di Penjara Anak Tangerang. Seluruh badanku terasa sangat lelah. Aku merasakan penat yang teramat sangat, semacam rasa lelah hati bercampur dengan lelah badan, dan semua terasa sepi. Aku hanya bisa terbaring diam, memandangi langit-langit kamar kosku, merasakan sepi dan hampa. Kosong sekali rasanya hatiku. Dan tiba-tiba terlintas sebuah pikiran, 'aku perlu berbagi, aku butuh teman untuk melanjutkan hidupku'.

Malam itu menjadi titik balik bagiku. Malam itu aku memutuskan untuk menikah. Ya, aku akan menikah. Kurang lebih, beginilah doaku setelah aku melakukan sholat hajat, "Ya Allah, malam ini kuputuskan bahwa aku akan menikah. Aku telah siap membagi hidupku dengan seseorang dan aku membutuhkan teman untuk melanjutkan hidupku, agar lebih berkah dan memberi manfaat lebih banyak bagi dunia. Ya, Allah, pertemukanlah aku dengan seseorang yang juga telah siap untuk membagi hidupnya denganku dan menjadikanku teman dalam melanjutkan hidupnya, agar lebih berkah dan memberi lebih banyak manfaat bagi dunia. Aku hanya butuh seseorang ya, Allah. Tidak lebih. Dan aku harap ada seseorang yang membutuhkanku, tidak lebih juga."

Sejak malam itu, hidupku berubah. Aku semakin yakin bahwa aku akan menikah, padahal pacar pun aku tak punya. Ketika kunyatakan pada kawan-kawanku bahwa aku akan menikah, pertanyaan selanjutnya yang mereka ajukan adalah: Kapan? Sama siapa?

Naaahh..ini masalahnya. Aku sendiri pun tak tahu kapan aku akan menikah, dan dengan siapa akan menikah. Maka, untuk pertanyaan pertama, aku tetapkan dengan jawaban: Dua tahun setelah tahun 2008, aku akan menikah. Setiap orang yang menanyakan tentang kapan aku akan menikah, maka aku menjawabnya: Dua tahun lagi. Entah kenapa, aku begitu yakin bahwa aku akan menikah dua tahun kemudian.
Pertanyaan kedua adalah pertanyaan yang sulit kujawab, karena pertanyaan yang ini tak bisa kutetapkan dengan mudah. Jangankan wujud atau penampakannya, lha wong namanya saja tak terbayang olehku. Apakah orang yang akan kunikahi akan bernama Joni, Adam, Muhammad atau Joko? Alhasil, yang bisa kulakukan hanyalah mereka-reka, meng-angan-angan-kan seseorang yang akan menikah denganku. Dan ada hal yang berubah setelah itu, yang kalau aku ingat-ingat, sangat menggelikan. Aku mulai menebak-nebak setiap laki-laki yang dekat denganku, diakah yang akan menjadi suamiku?Apakah dia akan cocok jadi teman hidupku nanti?

Seorang teman berkata padaku, "Orang baik akan mendapatkan hal yang baik juga. Agaknya ini juga berlaku untuk jodoh. Kalau mau punya jodoh yang baik, ya tentu kita harus mulai berusaha untuk jadi baik, agar kita menjadi pantas untuk menerima hal yang baik itu." Sekilas, kudengar kalimat itu seperti kalimat Pak Mario Teguh dalam The Golden Ways. Tapi lama-lama, aku pikir, mungkin yang dia bilang ada benarnya juga. Pertanyaan selanjutnya adalah, jodoh yang baik itu yang seperti apa? Orang yang baik menurut aku sendiri itu yang seperti apa? dan yang dimaksud baik olehku itu sebenarnya apa? Maka mulailah aku mendefinisikan "baik" menurutku.

Sejak SMA, aku terbiasa menuliskan semua hal yang ingin kuselesaikan, capai, miliki, lakukan dan nikmati. Aku selalu membuat daftar atau sekedar catatan tentang hal-hal itu. Dan, di kemudian hari, aku menemukan Buku "Agenda Refleksi dan Tindakan" karya Andreas Harefa, yang juga menyatakan tentang  betapa perlunya menuliskan atau mencatat hal-hal yang ingin diselesaikan, capai, miliki, lakukan dan nikmati. 

Aku pun mulai menuliskan tentang laki-laki seperti apa yang akan menjadi suamiku. Diawali dengan menuliskan kalimat Basmalah di bagian paling atas selembar kertas HVS putih, aku mulai menulis:

Dengan ijin Allah, aku siap menikah dengan laki-laki yang:

  • Mempunyai pandangan dan cita-cita kehidupan yang sama denganku, yaitu memberi manfaat dan keberkahan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk makhluk Tuhan yang lain.
  • Memperlakukan dirinya dan  makhluk Tuhan lainnya dengan penuh penghargaan dan penghormatan, serta mengakui keberadaannya. 
  • Mampu menjadi "teman"-ku, sehingga tidak akan ada konsep "melayani dan dilayani" dalam relasi kami membangun keluarga. Semua hal dapat dilakukan bersama-sama, saling melengkapi, dengan pembagian peran yang disepakati, dalam proses membangun kesepakatan yang setara. Tidak ada yang direndahkan satu sama lain.
  • Bersedia menerima apapun kondisiku, dan sebaliknya, aku juga akan bersedia menerimanya, apapun yang ada pada dirinya. Apabila terdapat hal-hal pada dirinya yang aku belum dapat menerimanya dan sebaliknya, maka aku akan mepertimbangkannya lagi, apakah ia memang laki-laki yang akan menjadi suamiku.
  • Bersedia dan mampu berjalan bersamaku untuk mengembangkan sebuah usaha keluarga. Aku bermimpi dapat memproduksi film-film dokumenter bersama pasanganku. Aku bermimpi membangun usaha rumah produksi film dokumenter, sebagai sebuah usaha keluarga. 
  • Siap membangun sebuah keluarga yang mandiri dan merdeka bersamaku.
  • Mempunyai pandangan tentang anak-anak yang sama denganku, bahwa anak, pada dasarnya adalah sebuah amanah yang ingin kita emban dari Sang Maha. Dia tidak hanya sekedar lucu dan menggemaskan, tetapi dia punya catatan hidup dan masa depannya sendiri, dan orang tua hanyalah fasilitator bagi kehidupannya.

Begitulah, aku menuliskan mimpiku. Tak puas, aku pun membubuhkan tanggal dan menandatanganinya, seolah seperti sedang membuat perjanjian. Tentunya, masih ada banyak mimpi yang aku tuliskan dalam lembar-lembar yang lain.


---


Waktu berselang, dan aku masih menyimpan rapi lembaran itu, walaupun aku tak membuka dan membacanya lagi. Kehidupan terus berjalan. Manis. Pahit. Suka. Luka. Bara. Bahagia. Tawa. Tangis. Perih. Lega. Senang. Sedih. Kecewa. Amarah. Maaf. Pasrah. Menerima. Benar. Nyeri. Salah. Bertahan. Melawan.  Memulai. Mengakhiri. Berangkat. Datang. Pergi. Tiba. Kata. Laku. Rasa. Berjuang. Sakit. Menyerah. Benci. Cemburu. Iri. Cinta. 



Pada cintalah kehidupanku berhenti sejenak. Cinta telah memilihku untuk mengalaminya. Cinta yang biasa namun tak biasa. Cinta yang tak biasa namun biasa. Cinta memberiku ruang untuk melihat kembali, merasakan lebih dalam, memberiku kesempatan untuk melakukan, menerima untuk dipilih dan memilih. Dan pada titik itulah, setidaknya aku punya rumusan cinta-ku sendiri:

Cinta itu membesarkan, bukan mengecilkan

Cinta itu memerdekakan, bukan membelenggu
Cinta itu mencerdaskan, bukan membodohi, bahkan membodoh-bodohkan
Cinta itu memberdayakan, bukan membuat ketergantungan
Cinta itu memberi jalan, bukan menyesatkan
Cinta itu menyehatkan, bukan menyakiti, bahkan menyakitkan
Cinta itu menguatkan, bukan melemahkan
Cinta itu nyata, bukan khayalan

Pada saat bersamaan, hadirlah seorang teman biasa dalam kehidupanku. Aku percaya, ini bukan kebetulan. Teman biasa yang bercokol cukup lama di kehidupanku. Bersamanya, membagi cerita, membagi kerja, membagi makanan, mengalami perasaan-perasaan yang sama. Teman biasa yang juga tahu, apa yang telah terjadi padaku saat itu. Teman biasa yang rela berhujan-hujanan datang mengunjungiku. Teman biasa yang bersedia berjam-jam mendengarkan celotehku, tanpa mengantuk dan bosan. Teman biasa yang sangat tahu tentang mimpi-mimpiku dan menyetujuinya.


Teman biasa inilah yang bersedia membagi hidupnya denganku, dan aku bersedia membagi hidupku dengannya. Teman biasa ini yang mengajarkanku tentang cinta yang nyata. Dan setelah aku menyadarinya, aku teringat akan lembaran mimpi yang pernah kutuliskan pada selembar kertas pada tahun 2008. Dan setelah aku menyadarinya, itu terjadi tahun 2010. Tepat 2 tahun setelah aku menuliskannya.

Aku percaya ini bukan kebetulan. Allah menentukan jodoh dengan cara yang kita tak pernah duga. Bahkan aku hanya menuliskan, meminta dan percaya kepada-Nya. 

Tapi jangan sangka aku telah hidup bahagia selama-lamanya dengan seorang pangeran seperti dalam dongeng. Bersamanya, aku menyadari bahwa ada satu poin yang belum sempat kutuliskan dalam daftarku dan akan kutambahkan sekarang:


Belajar hidup dan berproses menjadi dewasa bersamanya.
Dan cinta memang tak cukup untuk itu, tapi cintalah yang mendasarinya.

"Burung Kakak Tua" versi Vier

Versi 1

Bulung kakak tuaa
Mencloknaa di jendelaaa
Nenek sudah tuaa
Mencloknaaa di jendelaaa (nada tinggi, agak ngotot)

Tekdung...tekdung...
Tekdung...talalaaaaa (ngotot)
Mencloknaa di jen...delaaaaa....

---

Versi 2

Bulung kakak tuaa
Gigina tinggal duaaaaaaaaa (langsung nada tinggi, ngotot banget, langsung end!)

---

Versi 3

Bulung kakak tuaa
Mencloknaa di jendelaa
Nenek sudah tuaaa
Gigina tinggal duaaa...

Tekdung...tekdung...
Tekdung...talalalaaaaaaaa (nada tinggi, sok menghayati)
Nenek sudah tuaaaaa... (sambil lompat dari atas kursi tamu, dan bunda siap-siap menangkapnya di bawah)

Senja, antarkan aku pada Malam

Senja, antarkan aku pada Malam
biar kutemui Hening bersamanya,
untuk bicara dalam bahasa keheningan
tentang cerita sejuta cinta.

Senja, antarkan aku pada Malam,

biar kutemui Bintang bersamanya,
untuk menitipkan cerita sejuta cinta
sepaket dengan derai tawa dan air mata
mewujud jadi pendar cahaya.

Senja, antarkan aku pada Malam.


Grow Old With You

Entah kenapa, tiba-tiba saya teringat tentang lagu ini. Grow Old With You, salah satu soundtrack film The Wedding Singer yang dibawakan oleh Adam Sandler. 
Entah kenapa juga, tiba-tiba saya sangat ingin mendengarkan lagu itu sekarang. Ya, saat ini juga. 

"Grow Old With You"

I wanna make you smile whenever you're sad
Carry you around when your arthritis is bad
All I wanna do is grow old with you

I'll get your medicine when your tummy aches
Build you a fire if the furnace breaks
Oh it could be so nice, growing old with you

I'll miss you
I'll kiss you
Give you my coat when you are cold

I'll need you
I'll feed you
Even let ya hold the remote control

So let me do the dishes in our kitchen sink
Put you to bed if you've had too much to drink
I could be the man who grows old with you
I wanna grow old with you

Lagu ini dapat diakses pada tautan berikut:


atau


Cinta tetap menjadi bahasan utama pada lagu ini. Tapi penyajian cinta yang tidak muluk-muluk, yang biasa, yang sederhana, yang nyata itulah yang menurut saya membuat lagi ini menjadi menarik. Mungkin begitulah cinta. Tak perlu pemaknaan dan pengungkapan penuh metafora, tapi hadir, ada, mewujud dan ter'rasa'. 

Lagu ini mampu mewujudkan cinta dalam tindakan, yang kecil mungkin, tapi nyata dan sangat mungkin menjadi "langgeng". 


Kecil, tapi menjadi besar apabila dilakukan dengan cinta. 

Biasa, tapi menjadi luar biasa apabila dilakukan dengan cinta. 
Sederhana, tapi menjadi istimewa apabila dilakukan dengan cinta. 

Tak perlu harus bunuh diri, tak perlu harus merangkai berjuta kata hingga berbusa, karena cinta tak melulu kata. Ada laku dan rasa juga dalam cinta.