Arsha Vierrizki Harwoko

ARSHA means ancient spiritual knowledge. In ancient times in India, the spirituality and science were not in contradiction to each other.Rishis were scientists as well as revealer of spiritual knowledge to the society. They were able to explain matter, life as well as cosmic energy. (Terjemahan bebas: ARSHA berarti pengetahuan spiritual kuno. Pada zaman kuno di India, spiritualitas dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan satu sama lain. Resi adalah ilmuwan sekaligus pewahyu pengetahuan spiritual untuk masyarakat, mereka mampu menjelaskan materi, hidup serta energi kosmik)
-http://www.arshayoga.org/-


Arsha Vierrizki Harwoko
Kata "ARSHA" itulah yang pertama kali terlintas di benak saya 16 bulan yang lalu, ketika saya sedang mencari-cari nama untuk anak pertama kami. Terus terang, kami baru memikirkan nama untuk anak ketika kehamilan saya mulai memasuki usia 8-9 bulan. Bulan-bulan sebelumnya kami begitu "cuek", santai saja menikmati kehamilan sambil tetap melakukan aktivitas seperti biasa, bekerja, mengedit film pendek dan video dokumentasi, melakukan penelitian, nonton di bioskop, jalan-jalan, makan di angkringan sampai memasak bersama. 

Suami saya juga tak kalah serunya berburu nama untuk anak pertamanya. Hanya saja cara kami berbeda. Saya mulai mencari nama dengan membeli buku kumpulan nama-nama bayi, kemudian menyambung-nyambungkannya dengan kata yang lain, browsing di internet, sampai mencari-cari di koran. Suami saya mencari nama untuk anak kami dengan cara merenung sambil menikmati sebatang rokok, duduk di atas jok motornya. Cukup lama ia duduk di atas jok motornya, merenungkan nama yang menurutnya tepat untuk anak pertamanya. Diam, ia hanya menatapi langit malam hari sambil otaknya sibuk mengotak-atik deret huruf untuk memberi makna pada sebuah nama.

Tiba-tiba ia melompat dari jok motor yang sedari tadi menjadi 'singgasana'-nya, dan bergegas menghampiri saya, yang masih berkutat dengan laporan penelitian. "Bun, Pa'e mau anak kita namanya VIER!!", katanya dengan mata berbinar. Saya terperangah melihatnya, kaget bercampur bengong karena ia tiba-tiba ada di hadapan saya. "Vier??", saya mengulangi kata itu dengan penuh tanya. Sepertinya ia memahami kebingungan saya, "Iyaa, Vier aja ya, Bun. Itu singkatan nama kita, Vi-nya diambil dari nama Bunda, Er-nya diambil dari nama Pa'e. Bagus kan, Bun? Kayanya belum ada anak yang namanya begitu. Kalau Bunda maunya dikasih nama siapa, Bun? Ada yang bagus gak di buku itu? Kalau ada yang bagus, kita sambungin aja, Bun. Ada gak, Bun?", ia bertanya seolah menginterogasi. Sepertinya, baginya, urusan nama anak ini harus segera dibereskan, agar ia bisa berkonsentrasi untuk menyiapkan kelahiran anak kami. 
"Ada."
"Apa, Bun?"
"Arsha"
"Artinya?"
Saya kemudian menunjukkan padanya sebuah halaman website.
"Bagus juga nama itu, Bun. Pa'e juga mau nama itu dipakai. Gimana nyambunginnya?", ungkapnya setelah merenungi halaman website itu. Saya juga bingung, dan hanya bisa diam, sambil mikir.
"Arsha...Vier...Arsha...Vier...gimana ya?"
"Gimana kalau ARSHA VIERRIZKI saja? Nyambung gak, Pak?"
"Hmm...nyambung, Bun. Belakangnya tambahin Harwoko ya, Bun. Jadinya ARSHA VIERRIZKI HARWOKO, gimana, Bun?
"Bolleehh..kedengerannya OK juga ya, Pak."
"Ya udah, Bun. Itu aja ya namanya. Pa'e catet yaa.."
"Ha?? Dicatet?? Gak salah niyy??" tanya saya dalam hati, dan sepertinya ia mengerti kebingungan saya, "Iyaa, Bun. Ini Pa'e catet, biar fix. Biar gak berubah lagi, jadi nanti kalau ditanya sama suster di rumah sakit, Pa'e bisa langsung kasih catetannya. Siapa tau Pa'e gugup, terus lupa.".
Owalaaahh..suamiku sayang..jujur, saya tidak terpikir sampai kesana. Rupanya Pa'e begitu detail mempersiapkan kelahiran anak kami.

Tak lama setelah pembicaraan itu, "Bun, nanti kalau namanya Arsha Vierrizki Harwoko, nama panggilannya siapa ya?", hah?? Hal ini juga tidak terpikirkan oleh saya. Pertanyaan-pertanyaannya selalu membuat saya terhenyak dan sadar, ada yang belum terselesaikan. Saya jadi mikir.
 "Bun, kok diam?", lama ia menunggu saya berucap.
"Kalau kita panggil dia VIER aja gimana, Pak?"
"Vier? Gak Arsha aja, Bun?"
"Kayanya Arsha kok kedengerannya berat ya, Pak. Gimana?"
"Vier juga seru tuh, Bun. Ya udah, kita panggil Vier aja."
"Yaa..tapi yang ini gak usah dicatet", kata saya. 

Keesokan harinya, "Bun, mulai hari ini kita mulai panggil dia dengan namanya ya.. Bunda panggilnya jangan bayi  lagi, panggilnya Vier ya, Bun." Saya hanya bisa tersenyum, dan menahan air mata yang berebutan ingin mengucur. 

Sejak hari itu, ia bernama. Ia adalah Arsha Vierrizki Harwoko, anak pertama kami. Nama panggilannya adalah Vier.



Rindu Tanah pada Hujan

Tak ada yang paling kurindukan ketika hujan tiba,
selain bau tanah yang basah oleh tetesan hujan.

Mungkin itu juga yang dirindukan tanah pada hujan.
Pertemuan yang sakral, dimalam yang hening, nyaris kudus.
Pertemuan tanah dengan tetes hujan.
Tiap sentuhan tetes hujan pada tanah,
menguarkan aroma rasa rindu yang dalam, 
menyesakkan sekaligus melegakan,
menenangkan sekaligus meresahkan,
memiliki sekaligus kehilangan.

Yang tersisa dari pertemuan itu,
hanya bau yang kukenali sebagai bau tanah yang basah oleh tetesan hujan.


Perkenankanlah Aku Mencintaimu

Perkenankanlah aku mencintaimu
seperti ini
Tanpa kekecewaan yang berarti
Meski tanpa kepastian yang pasti
Harapan-harapan yang setiap kali
dikecewakan kenyataan
Biarlah dibayar oleh harapanharapan
baru yang menjanjikan...

Perkenankanlah aku mencintaimu
semampuku
Menyebut-nyebut namamu
dalam kesendirianpun lumayan
Berdiri di depan pintumu tanpa harapan
kau membukakannyapun terasa nyaman
Sekali-kali membayangkan kau memperhatikan
pun cukup memuaskan
perkenankanlah aku mencintaimu sebisaku...


-A. Mustofa Bisri-

Ode untuk Teman

Pertemuan denganmu 
sebuah kebetulan
-tentu saja bukan kecelakaan-
Kau diluar rencanaku
menggembirakan diri
tampil di sela-sela kemanjaanmu
Beginikah rasanya punya teman?
Hiruk pikuk hari-hari
lewat saja, ringan saja
dan kau memenuhi kekosongan
Kita berteman saja,
aku tak punya niat terlalu jauh
Hanya kurasakan kesegaran
yang penuh saat bersamamu
Kurasakan kelancaran nafas hidup
Kurasakan detil dunia dalam matamu
Kurasakan sukacita waktu dalam gerakmu
Aku jadi temanmu saja
menyediakan detik-detik untukmu,
rauplah sesukamu,
datanglah mengeluh,
hiruplah kebaikan 
sejauh ada padaku
Kita berteman saja:
sebuah kenyataan
yang sangat mungkin abadi,
menjelma kupu-kupu indah di suatu pagi,
dengan bunga-bunga dan suara burung
Meski kau akan berlayar jauh dengan kekasih
aku adalah pelabuhan kala kau sendiri
Kita berdua memecah kesunyian,
membikin dunia terjaga
dan bersama bergembira
Kita berteman saja
Sambil tetap berdoa
demi ketulusan hati
yang kuingin tetap begitu
Ya kita berteman saja
dalam hidup ini
dan nanti.

-Bagus Takwin, dalam "Bermain-main dengan Cinta", 2001-


Luruh

Seluruh daya diri ini luruh
Menunggumu mengerti
Mengarti aku dan kamu
akan menjadi kita.