Vier dan Barang Berharganya



Barang-barang yang lebih banyak dalam kondisi rusak daripada utuh, 
Tetap disimpannya, tak secuilpun terbuang.


Seribu tiga ratus tiga puluh empat hari berlalu, baru dan usang hanyalah soal waktu.


Dunia bagai bergoncang,
ketika si pemilik mulai mencari-cari barang mungil yang ia ingat untuk digunakannya.
Akan benar-benar berguncang ketika ia tak kunjung menemukan apa yang dicarinya.


Sekilas, barang-barang itu seperti "barang rongsok", tapi bagai emas dimata pemiliknya.

Kami tak pernah menyingkirkan barang-barang itu,
selama kau masih menginginkannya, Nak.

Bermainlah sepuasmu,
karena dengan bermain kau belajar.



Vier Mau Sekolah di Rumah

Pagi ini, seperti biasa, aku ngobrol dengan Vier sambil menemaninya mandi. Ya, menemaninya mandi karena sebenarnya Vier sudah mulai bisa mandi sendiri, tetapi karena inilah satu-satunya moment yang bisa kumanfaatkan untuk ngobrol dengannya secara bebas, tanpa intervensi ide dari siapapun. Jadi, aku bisa menggali pikiran Vier yang genuine, yang belum tentu aku bisa dapatkan ketika kami ngobrol dengan dikelilingi beberapa orang dewasa. Intinya, sebenarnya kami butuh "our time", berdua atau kadang bertiga dengan Si Pa'e, ngobrol.

Vier : Raka kemana sih, Bun?
Aku : Maksudnya gimana, Raka kemana?
Vier : Raka ga main ke rumah Vier lagi, Bun.
Aku : Owh..Raka kan sudah mulai sekolah PAUD, di TK dekat masjid situ. Emang kenapa? Vier mau sekolah di PAUD juga, biar bisa main lagi sama Raka?
Vier : Tidak mau (dia lagi senang menggunakan "tidak mau" daripada "ga mau".). Vier mau di rumah aja.
Aku : Maksudnya gimana?
Vier : Vier ga mau sekolah, Bun. Vier di rumah aja. Bu guru aja yang ke rumah Vier.
Aku : Owh.. Vier mau sekolah di rumah aja? Jadi, Bunda minta Bu guru untuk datang ke rumah Vier? Kenapa begitu?
Vier : Iya. Soalnya Bu guru naik motor.


Aku makin bingung dengan statement anak 3,5 tahun ini.

Aku : Maksudnya gimana, Vier? Vier juga bisa diantar naik motor ke sekolah sama Pa'e atau Bunda kan?
Vier : Tapi Pa'e sama Bunda kan kerja? Vier masih kecil. Kalo Bu Guru kan udah gede, bisa naik motor sendiri.

Owh..aku mulai paham kemana arah pembicaraan anak ini. Vier sedang belajar membandingkan dirinya dengan segala hal yang sedang dia lihat, apapun. Proses membandingkan tersebut harus aku lihat sebagai sebuah proses perkembangan cara berpikirnya. Walaupun sejujurnya aku sangat kagum dengan caranya membangun logika untuk menjelaskan padaku kenapa dia memilih belajar di rumah.
Sambil senyum-senyum melihatnya berusaha meyakinkanku, dalam hatiku berbisik padanya, "Subhanallah, Nak. Itu penjelasan yang paling masuk akal buat Bunda. Bunda bisa menerima penjelasanmu, Nak. Terima kasih sudah berusaha memahamkan Bunda tentang caramu berpikir dan berlogika. Sekali lagi, Bunda belajar darimu."